Jumat, 23 September 2011
Beratnya melangkah tanpa kehadiran seorang kekasih yang selalu menemani. Kekasihku meninggalkanku karena kesalahanku sendiri. Penyesalan selalu menghantui angan jiwa terbangku. Aku sadar semua itu takkan mungkin kembali lagi.
Seminggu telah berlalu. Namun hatiku belum dapat menghapus rasa cintaku kepada mantan kekasihku itu. Menghilangkan rasa cinta dalam sekejap amatlah sulit. Jangankan sekejap, perlahan – lahan pun teramat sulit pula. Langkah – langkah jiwaku begitu berat. Hanya air mata yang selalu menemani hari – hariku. Andai rasa cinta tak begitu dalam, pasti sakitnya tak begitu menghujam deras seperti ini. Namun apa dayaku? Semua telah terjadi. Mungkin ini semua sudah menjadi garis takdir jalan hidupku.
Di keheningan malam ini, aku masih mengingat sosok Vano dalam alunan hatiku. Senyumannya yang selalu menari – nari dalam anganku membuat jiwa inin tersayat mati. “ Tuhan, tolong bantu aku membuang rasa ini. Jika Engkau enggan membantuku membuang rasa ini, maka aku memohon kepada – Mu untuk bias membantunya saat ia mengalami kesulitan yang membelit jiwa tenangnya. Aku rela member apa yang ku punya untuk menolongnya disuatu hari nanti”, bisik hati laraku.
Suatu hari saat aku termangu di pinggir danau aku melihat sosok Vano yang masih tersimpan di almari hatiku. Pertama melihatnya aku senang. Aku berharap dia mendekatiku. Geraka – gerik kaki jenjangnya melangkah ke arahku. Namun aku kemudian aku dikejutkan oleh cewek yang berjalan di belakang Vano. Dia memeluk Vano dari belakang. Mereka berdua saling beradu kasih. Sungguh miris perasaanku melihat semua kejadian yang terjadi di depanku. Aku terdiam, membiarkan canda – canda renyah mereka yang begitu menggelitik hati gusarku.
Lidah – lidah matahari yang siang tadi menjilat – jilat begitu eramnya telah berganti remangan senyum rembulan. Tak ku sangka semudah itu Vano mengganti kkan posisiku di hatinya. Vano ternyata cowok gampangan, hal itu baru ku sadari. Dalam sekejap ia mendapat pengganti. Dia benar – benar mempermainkanku.
Kejadian kemarin siang tidak hanya meninggalkan duka bagiku saja. Vano yang menyakitiku terkena imbasnya. Pulang dari danau kemarin, Vano mengalami kecelakaan di ruas jalan yang baru saja di bangun. Menurut saksi mata, Vano mengemudi mobilnya dengan kecepatan kencang. Tak disadarinya ada angkota yang berhenti mendadak. Vano tak mampu mengendalikan mobilnya, hingga Vano membanting setirnya ke kanan. Dari peristiwa itu Vano mengalami kebutaan.
Hari ini aku berniat menjenguk Vano. Aku menjenguknya dari kejauhan. Menatap dari remangan balik pintu yang mencakar. Mata ini tak kuasa melihatnya. Hatiku tak sanggup menerima kegelisahannya.
Selesai menjenguk Vano, aku menghadap Dokter Mario ( ia dokter yang menangani Vano ). Di ruang Pak Mario aku menyampaikan maksud tujuanku. Aku menyatakan bahwa aku akan mendonorkan mataku untuk Vano. Pak Mario tak percaya saat mendengarkan apa yang ku katakan. Ia berusaha meyakinkanku untuk mempertimbangkan niatku. Namun niatku ini sudah mantap.
Operasi mata akan secepatnya dilakukan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Beberapa jam telah terlewati, kini tiba saatnya hari operasi itu. Kegelisahan mengobrak – abrik ketenangan jiwaku. Tepat pukul 10.00 WIB aku memasuki ruang operasi. “ kamu sudah siap?” kata seorang perawat kepadaku. Aku menganggukan kepalaku. Sebelum operasi di lakukan, aku meminta izin kepada perwat yang menanyaiku tadi untuk melihat Vano terakhir kalinya.
Beberapa menit aku menatap wajah masamnya. Aku tak tega milihatnya. Begitu butanya hatiku ini. Sudah disakiti masih saja mempedulikannya. “ Semoga mata ini dapat menuntunnya ke jalan yang terang”, bisik hatiku.
Operasi telah berjalan dengan lancar. Vano dapat melihat lagi. Pekerjaan yang kemrin tertunda kini telah ia selesaiakan. Namu berbeda dengan hari – hariku. Hari – hariku begitu gelap melekat. Hidup terasa sunyi. Namun meski begitu jiwaku tetap sejuk.
Malam ini begitu berbeda. Terasa begitu indah. Vano mendatangi rumahku. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku. Dia menemaniku mala mini. Dalam pelukannya aku bersandar. Terasa nyaman jiwa lara ini. Pelan – pelan aku pejamkan mataku. Ku rasakan tubuh lemah, lemah dan semakin lemah. Angan, lamunan jiwa seolah – olah berlari mengajak menari indah di atas sana. Aku semakin tak berdaya.begitu lemasnya tubuh ini. Nafasku semakin tak teratur. “ Tuhan semoga malam ini adalah malam terindah dala hidupku”, bisik hatiku.
Ely ajach
LSD_HARAPAN MAKMUR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar